Rabu, 15 September 2010

Petuah Tua yang Terlupakan


Libur seharian tanpa ke mana-mana membawa saya bertemu dengan film ini. Sekilas, The Book of Eli hanyalah sebuah buku yang berisi kisah tentang seseorang yang kesepian dan bertualang di tengah dunia yang sudah hancur karena suatu bencana raksasa. Setelah ditonton, ternyata isinya tentang……. seseorang yang bertualang di tengah  dunia yang hancur. Kisahnya memang biasa, namun “emas” dalam film ini bukan kisahnya, melainkan petuah-petuah tua yang terlupakan.

Sang pemeran utama, Eli, mendapat wangsit untuk melakukan perjalanan ke barat untuk mengantar sebuah buku yang sangat langka dan berharga. Dalam perjalanannya, Eli menghadapi banyak rintangan, terutama dari Carnegie, seorang pemimpin kelompok manusia tak beradab, yang bermimpi menciptakan dunia baru dengan bermodalkan rahasia 3 titik mata air di muka bumi (air bersih di dunia yang hancur itu hampir setara dengan emas pada zaman kita) dan buku yang akan dihantar Eli tersebut. Setelah melalui pelarian panjang dari kejaran Carnegie, Eli akhirnya menyerahkan buku tersebut demi menyelamatkan seorang wanita, Solara, yang menjadi teman perjalanannya sejak dari markas Carnegie. Eli ditembak, dan Solara ditawan. Untung saja Solara berhasil melarikan diri dan kembali mencari Eli yang ditinggalkan dalam keadaan terluka. Ternyata Eli sudah tidak ada di tempat ia ditinggalkan. Akhirnya Solara menemukan Eli sedang terus berjalan ke Barat, tanpa buku tersebut. Kalau begitu apa yang harus di antar? Eli ternyata sudah menghafal isi buku tersebut. Setelah mereka sampai di barat, Eli meminta seseorang menuliskan semua yang dia lafalkan, sehingga buku tersebut bisa dicetak ulang. Lalu, apa Carnegie berhasil membangun kembali peradaban manusia dengan buku tersebut? Tidak, karena buku tersebut ternyata tercetak dengan huruf Braille. Eli bisa membacanya karena dia ternyata mata kanannya ternyata buta. Setelah buku tercetak, Eli pun mati, dan Solara berniat kembali ke timur untuk mengajarkan isi buku tersebut ke tempat tinggalnya.

Beberapa twist dalam cerita ini memang menarik, tapi ada yang lebih menarik lagi. Satu pertanyaan yang belum terjawab adalah, “Apa sebenarnya isi buku itu?” Apakah pengetahuan sihir, silat, atau rahasia peradaban modern yang punya kekuatan dashyat? Tidak ketiganya. Buku itu tidak lain adalah Alkitab, kitab suci orang kristiani.


Yang berharga dalam film ini sebenarnya adalah sentilan-sentulan tentang keimanan dan agama yang ada di dalamnya. Film ini memang kisah tentang perjalanan kitab suci umat kristiani, namun nilai yang disampaikan adalah universal. Ada 2 kalimat yang menurut saya menyentil. Pertama adalah, “It doesn’t have to make sense. It’s faith!” Dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti, “Memang tidak harus masuk akal. Ini keyakinan!” Ucapan ini terlontar ketika Eli dan Solara sedang berdebat tentang tujuan pasti dari misinya ke barat. Kalimat ini seperti sentilan untuk kaum skeptis yang memandang agama hanya sebuah alat pembodohan dan mobilisasi. Kaum ini biasanya selalu membenturkan agama dengan logika mereka yang terbatas, padahal salah satu konsep ketuhanan, bahwa Tuhan adalah sesuatu yang maha dashyat dan tidak bisa di pahami secara utuh oleh logika manusia yang terbatas, sudah membatalkan tesis mereka sampai ke akar-akarnya. Konsep Tuhan ada bukan karena logika, tapi karena iman.

Sentilan kedua yang saya dapati ketika Solara berkata, “Aku kira kamu tidak akan pernah mengorbankan buku yang sangat berharga itu demi menyelamatkanku.” Eli pun menjawab, “Aku sudah terlalu lama membaca buku itu sampai aku lupa untuk hidup dengan cara yang buku itu ajarkan.”Ini adalah sentilan bagi mereka yang percaya Tuhan, mengikuti ritualnya, dan menyebarkan ajaran Tuhannya ke orang lain, namun gagal untuk hidup sesuai ajaranNya, yaitu hidup dengan mengasihi orang lain dan membawa kedamaian di dunia.

Kitab suci memang sesuatu yang dashyat. Isinya bisa menggerakkan manusia melakukan sesuatu yang bahkan di luar akal sehat. Film ini mengingatkan kita bagaimana besarnya kekuatan keimanan tersebut, dan bagaimana pentingnya isi kitab tersebut untuk menuntun cara hidup manusia, terutama dalam saat-saat sulit. Hanya saja manusia semakin jatuh ke dalam kehebatan logika mereka, dan agama hanya sekedar menjadi potongan kebudayaan manusia yang hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai keuntungan pribadi atau sekedar kebudayaan tua yang dilestarikan tanpa makna. Alhasil, tujuan hakiki dari turunnya ajaran tersebut pun kabur.

Sekarang saatnya duduk, refleksi, dan bertanya pada diri kita sendiri. Dari dua kelompok di atas, ada di kelompok manakah kita? Mudah-mudahan tidak keduanya.